LDR’ers


“Takut bagaimana maksudmu? Aku datang dengan niat baik. Untuk melamarmu.”
“Aku… Aku… takut akan kehilanganmu.”
***
            Enam bulan lamanya sejak Putri menjalani wisuda dan belum juga mendapatkan pekerjaan. Entah karena ia yang terlalu pemilih atau memang dia yang (masih) belum terpilih. Dalam hal karir ia memang tidak begitu beruntung. Berulang kali ia mencoba semua belum membuahkan hasil. Tapi, dalam urusan asmara lain cerita. Ia telah menjalin kasih tiga tahun lamanya dengan seorang pria yang terpisah jarak. Yah, mereka adalah pasangan LDR’ers. Jarang bertemu, dan lebih sering berkomunikasi melalui pesan singkat atau sambungan telepon. Mereka kini mulai memasuki tahun keempat. Tahun yang bisa dibilang paling berat untuk dijalani.


“Kamu itu sebenarnya bisa, tapi males! Jangan cuma mengandalkan aku, coba andalkan dirimu sendiri juga! Masak apa-apa nunggu orang lain aksi dulu baru ikutan?” oceh Damar dalam pesan teks singkatnya karena sudah lelah dengan sikap kekasihnya yang manja bak putri raja.
“Iya, aku pasti akan terus berusaha untuk kamu, untuk kita,” balas Putri singkat sambil mengangguk-anggukkan kepalanya meskipun Damar tidak dapat melihat itu dari layar ponselnya.
“Aku sayang kamu. Paling tidak aku sudah bisa membedakan mana yang penting dan mana yang tidak. Mana yang bisa diutamakan atau tidak. Dan menempatkan diri dengan sabar, bukan dengan ego! Lalu, kapan kamu mau belajar untuk bersikap dewasa sesuai dengan umurmu sekarang?!” tandas Damar tegas karena merasa kurang puas dengan jawaban Putri.

***

“Takut bagaimana maksudmu? Aku datang dengan niat baik. Untuk melamarmu,” kata Damar melalui pesan singkatnya karena tak mengerti dengan apa yang ditakutkan Putri. Dahinya berkerut-kerut penuh tanda tanya.
“Aku… Aku… takut akan kehilanganmu,” jawab Putri dalam hati karena ia tak sanggup mengatakannya dan memutuskan untuk tidak membalas pesan Damar. Mulut mungilnya mengatup rapat. Matanya mulai berkaca-kaca menahan kesedihan yang dirasakannya.

Ketakutan Putri bukan tanpa alasan. Dan lagi-lagi, ini berhubungan dengan sikap kedua orang tuanya. Dan benar saja, ketika Damar datang bersama dengan keluarganya untuk melamar Putri, mereka pulang dengan tanpa hasil. Orang tua Putri malah tak memberikan jawaban yang pasti. Bukan menolak, tetapi mereka belum menentukan kapan tanggal pernikahan itu akan berlangsung. Kecewa? Pasti.
Damar pulang dengan gelisah, perasaannya berbalik 180°. Ia begitu bahagia ketika akan datang berkunjung ke rumah wanitanya. Tapi, ternyata kekecewaan yang ia dapatkan. Bukan hanya satu atau dua bulan bahkan sekarang sudah memasuki bulan ketiga sejak lamaran itu berlangsung namun tak kunjung ada kabar berita mengenai kapan pernikahan itu akan dilangsungkan.

“Yang biasa dilakukan di kotaku, lamaran kemudian menentukan tanggal untuk peningset[1]. Bisa juga jadi satu dengan prosesi ijab-qabul. Itu saja, tidak seribet yang kamu bayangkan kok,” tutur Damar memberi penjelasan kepada Putri mengenai kebiasaan adat pernikahan di daerahnya melaui pesan singkat.
“Iya.. aku paham. Tapi.. kamu juga tahu sendiri kan bagaimana sikap kedua orangtuaku? Mereka seakan tidak peduli dengan kehidupanku,” balas Putri sambil terisak berusaha untuk menahan perasaannya. Ia tak sanggup lagi membendung air matanya yang mengalir deras.
“Ya... itu tergantung bagaimana kamu lah. Coba untuk aktif, dan ajak orang tuamu bicara baik-baik! Demi kamu, aku sudah merelakan banyak hal. Kalau bukan karena kamu, pasti sekarang aku sudah menikah seperti kebanyakan teman-temanku,” protes Damar tidak terima dengan sikap pasrah Putri.
“Oh, jadi begitu maumu? Yasudah, sana! Silahkan, cari yang lain saja! Supaya kamu bisa cepet nikah dan tidak merasa ‘digantung’ lagi dengan ketidakpastian orang tuaku. Toh, selama ini kamu juga tidak pernah bisa menerimaku dan selalu mempermasalahkan masa laluku,” cecar Putri tak sanggup mengendalikan emosinya yang meluap-luap.
 “Kalau aku tidak menerima Kamu, gak bisa sama Kamu, mana mungkin aku melamarmu?! Dan itu juga bukan sesuatu yang bisa dijadikan mainan!” protes Damar tidak terima dengan apa yang dituduhkan Putri.

***
Putri termenung menerawang sekeliling sambil menyangga kepala dengan sebelah tangannya. Berusaha memikirkan apa yang bisa ia berikan untuk ulang tahun Damar yang tinggal menghitung hari. Otaknya berputar mencari segala kemungkinan. Ia bingung, sisa uang yang dimilikinya pun tidaklah banyak karena belum berpenghasilan.
Sejurus kemudian, sebuah ide muncul dalam benaknya. Apa pun yang terjadi, Putri bertekad untuk bisa bertemu dengan kekasih hatinya sekaligus untuk melepas rindu. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Putri selalu berusaha untuk datang ke Jogja untuk melewatkan hari ulang tahun kekasihnya bersama. Maka, tanpa pikir panjang lagi segeralah ia memesan travel dengan kepala penuh segudang angan indah aktivitas yang akan mereka lalui bersama selama beberapa hari ke depan. Tanpa ia sadari, senyum merekah tergambar jelas di wajah manisnya.

 “Lhoh, ini kenapa malah kamu berantakin? Ada apa? Memangnya kamu mau ke mana?” Tanya si Ibu bertubi-tubi melihat kasur Putri penuh dengan baju dan barang perlengkapan lain yang belum selesai dikemasnya.
Putri menoleh sekilas ke arah ibunya lalu menjawab. “Aku mau ke Jogja” kata Putri singkat acuh tak acuh sambil melanjutkan kegiatannya mengecek satu per satu barang yang hendak dibawanya kalau-kalau ada yang terlewat.
“Ada urusan apa memangnya Kamu kesana? Ibu kan sudah bilang mau kesana. Ini kok kamu malah mau kesana duluan?” sahut si Ibu dengan memasang tampang marah bercampur kesal pada Putri.
“Aku mau melihat pameran tunggal temanku. Aku sudah bilang mau kesana, Bu” jawab Putri dengan wajah memelas setengah berharap ibunya akan percaya bahwa itu memang tujuan utamanya untuk pergi ke Jogja.
“Yasudah, terserah kamu saja sana! Kalau kamu memang tetap mau nekad berangkat, Ibu juga gak akan mau peduli lagi dengan urusanmu,” tandas si Ibu tanpa ampun dengan ancamannya yang dahsyat.

Putri mendadak lemas seketika. Tubuhnya yang mungil seakan hendak tersungkur. Semua energinya hilang bersamaan dengan harapan dan angan bahagianya. Matanya kembali mulai berkaca-kaca menahan kesedihan dan kekecewaannya. Ia benar-benar tak menyangka ibunya begitu tega berkata seperti itu. Dan dengan terpaksa, Putri mengurungkan niatnya untuk bisa bertemu sang kekasih dengan penuh kekecewaan dan penyesalan.
Hari itu juga air matanya tak kunjung bisa berhenti mengalir hingga matanya yang sipit menjadi semakin bengkak. Rasa sakit itu begitu terasa menghunjam. Menyesakkan dada. Kekecewaan meluap. Dan terwujud dalam jeritan hati serta tetes demi tetes air mata. Ia sedih karena harapan dan angannya untuk bertemu dengan sang kekasih telah sirna. Ia juga sakit karena kata-kata dan sikap ibunya.

“Memangnya cuma keluargamu yang bisa bilang gak peduli? Ha! Kalau aku mau, keluargaku juga bisa lebih tegas lagi menyikapi ketidakjelasan keluargamu itu,” kata Damar dilanda emosi mendengar kabar bahwa Putri ternyata tidak jadi berangkat dan itu lagi-lagi karena ibunya.

Bak simalakama, Putri merasa terpojok dengan sikap orang tua dan kekasihnya yang membuat dadanya terasa semakin sesak dan sakit. Tak sanggup hanya berdiam dan tak tahan lagi berlama-lama di rumah, Putri memutuskan untuk bergegas. Karena ia tahu, tak akan ada kesempatan untuk menyerahkan pemberian itu secara langsung tepat pada waktunya. Terakhir sebelum pulang, Putri mampir ke salon untuk memotong pendek rambutnya yang semula panjang terurai tanpa ragu lagi dengan harapan itu dapat sedikit meringankan beban di hatinya.
***
Hari itu pun tiba. Akhirnya, ada sedikit titik terang. Meskipun awalnya, Putri sempat merasa dibohongi dan tidak dianggap. Orang tuanya kini mulai membicarakan rencana untuk pergi ke Jogja membahas kapan hari H nya akan dilangsungkan. Damar dan Putri kembali merasa memiliki harapan.

“Jadi, kapan kamu dan keluargamu akan datang ke sini?” Damar bertanya dengan penuh harap.
“Ya.. insyaallah minggu depan Sayang. Tapi rencananya cuma pulang-pergi gak pakai menginap,” jawab Putri sedikit berat. Sebenarnya ia berharap bisa memiliki waktu bersua lebih lama.
“Terus, kapan emangnya rencana hari H?” tanya Damar tak sabar mendengar bocoran dari Putri.
“Hem.. kayaknya tahun depan deh,” sahut Putri kembali berat karena harus menunggu lagi.
“Masih lama, haha.. Tapi aku sabar menanti kok. Andai rumah kita dekat,” kata Damar sedikit merayu.
“Halah, gombal kamu. Kalo gak jadi sama aku pasti kamu juga bakal sama yang lain. Ya kan?” timpal Putri setengah bercanda menanggapi rayuan Damar.
“Gak. Aku bukan orang yang takut jomblo. Kalau pun aku ditakdirkan sendiri di dunia ini, aku gak papa. Jadi, aku bakal tetap fokus sama kamu,” jawab Damar dengan nada berubah serius.
“Bohong! Kamu bilang, kamu mau ninggalin aku. Kamu bisa saja membuat keluargamu membatalkan lamaran kalau kamu mau,” sahut Putri sembari mengingatkan kembali kata-kata Damar.
“Aku gak akan ninggalin kamu kok. Aku omong doang aja kalau aku mau ninggalin kamu. Gak bener-bener niat. Karena aku memang gak mau ninggalin kamu,” tutur Damar. Kata-kata yang menjadi penerang bagi Putri. Layaknya nyala damar[2] dalam gelap.





[1] Peningset merupakan suatu simbol bahwa calon pengantin wanita sudah diikat secara tidak resmi oleh calon pengantin pria.
[2] Alat penerangan jaman dahulu. Biasanya terbuat dari kaleng kecil bekas bersumbu kain usang yang dimasukan ke dalam bambu kecil (sebagai pembungkus sumbu) dengan berbahan bakar minyak tanah

Comments