The Diffrencess Between Disaster Preparedness Based On Self-Efficacy Level of Primary School Age Children in Disaster Areas
Perbedaan Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana Ditinjau
Dari Tingkat Self-Efficacy Pada Anak
Usia Sekolah Dasar Di Daerah Dampak Bencana Gunung Kelud
(The Diffrencess Between Disaster Preparedness Based On Self-Efficacy Level of Primary School Age Children in Disaster Areas)
Fima Herdwiyanti A.
email: fima1006@gmail.com
Drs. Sudaryono, SU
email: sdynwwtim@yahoo.com
Fakultas
Psikologi Universitas Airlangga
Abstract. The
purpose of this study was to determine whether there is a difference disaster preparedness based on self-efficacy level
of primary school age children in
disaster areas. This study used two scales as
the primary data collection tool. Disaster
preparedness scale developed by the author based on eight dimensions of
disaster preparedness proposed by Sutton & Tierney (2006) and set of
General Self-Efficacy scale developed by Schwarzer & Jerusalem (1979).
Disaster preparedness scale a total of 27 aitem comprising 18 aitem favorable
and 9 aitem unfavorable. While GSE scale consisted of 10 aitem favorable divided into three dimensions,
namely magnitude, generality and strength.
Reliability testing of disaster
preparedness scale conducted on 50 subjects and demonstrate the value of Cronbach's α 0.881
whereas GSE scale
Cronbach's α value
0.643. The population of this study were 109 people,
but as many as 7 people not included in the category of high self-efficacy and
low self-efficacy that were not included the
subject of this study. Analysis of the data using statistical analysis techniques
of non-parametric Mann-Whitney U test with SPSS v.16
for Windows.
The results of hypothesis testing showed that there is a difference between the self-efficacy of high and
low self-efficacy groups in disaster
preparedness. Great significance
level of 0.000 is less than 0.05
so the difference is statistically significant. Value calculated effect size obtained
was 0.036, so it
can be said that the difference is
caused minor.
Keywords: disaster preparedness, self-efficacy
Bibliography, 50 (1980-2012).
Abstrak. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui apakah terdapat perbedaan kesiapsigaan menghadapi bencana ditinjau
dari tingkat self-efficacy anak usia sekolah dasar di daerah bencana.
Penelitian ini menggunakan dua skala sebagai alat pengumpul data utama. Skala
KesiapsiagaanMenghadapi Bencana yang disusun oleh peneliti didasarkan pada 8
dimensi kesiapsiagaan menghadapi bencana yang dikemukakan oleh Sutton &
Tierney (2006) dan satu set alat ukur self-efficacy
yang disusun oleh Schwarzer & Jerusalem (1979). Alat ukur kesiapsiagaan
menghadapi bencana sebanyak 27 aitem yang terdiri dari 18 aitem favorable dan 9 aitem unfavorable. Sedangkan alat ukur self-efficacy terdiri dari 10 aitem favorable yang terbagi dalam 3 dimensi,
yaitu Magnitude, Generality dan Strength.
Pengujian
reliabilitas alat ukur kesiapsiagaan menghadapi bencana dilakukan pada 50 orang
subyek uji coba dan menunjukkan nilai Cronbach α sebesar 0,881 sedangkan alat
ukur self-efficacy bernilai Cronbach
α sebesar 0,643. Jumlah populasi penelitian sebanyak 109 orang namun sebanyak 7
orang tidak termasuk dalam kategori self-efficacy
tinggi maupun self-efficacy rendah
sehingga tidak diikutkan menjadi subjek penelitian ini. Analisis data
menggunakan teknik analisis statistik non-parametrik
Mann-Whitney U test dengan bantuan
program SPSS v.16 for Windows.
Hasil pengujian
hipotesis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara kelompok self-efficacy tinggi dan kelompok self-efficacy rendah dalam kesiapsiagaan
menghadapi bencana. Besar taraf signifikansi 0,000 yaitu lebih kecil dari 0,05
sehingga perbedaan yang ada signifikan secara statistik. Nilai hasil
perhitungan effect size yang
didapatkan adalah 0.036 sehingga dapat dikatakan bahwa perbedaan yang
ditimbulkan kecil.
Kata
Kunci
: Kesiapsiagaan menghadapi bencana, self-efficacy
Daftar Pustaka, 50
(1980-2012).
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan
wilayah yang paling rawan terhadap bencana di kawasan Asia Tenggara terkait
dengan kondisi geografis, geologis, hidrologis dan demografis yang memungkinkan
terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non alam
maupun faktor manusia (Pusat Penanggulangan Krisis Depkes RI, 2008). Kewaspadaan
sangatlah penting mengingat fakta bahwa jumlah korban jiwa dan kehilangan
materi yang tidak sedikit di setiap kejadian bencana. Ini memperlihatkan masih
lemahnya kesiapan menghadapi bencana di Indonesia (Rinaldi, 2009). Kesiapsiagaan
menghadapi bencana sendiri didefinisikan sebagai tindakan yang bertujuan untuk
meningkatkan keselamatan hidup saat terjadi bencana. Seperti tindakan protektif
selama gempa bumi, tumpahan material berbahaya, atau serangan teroris. Kesiapsiagaan
juga mencakup tindakan yang dirancang untuk meningkatkan kemampuan untuk
melakukan tindakan darurat guna melindungi property dari kerusakan dan
kekacauan akibat bencana. Serta kemampuan untuk terlibat dalam kegiatan
restorasi dan pemulihan awal pasca bencana (Sutton & Tierney, 2006). Daerah
rawan bencana yang menjadi konteks dalam penelitian ini merupakan kawasan rawan
bencana II Gunung Kelud di Kabupaten Blitar. Kawasan ini merupakan daerah yang
dinilai paling rawan jika Gunung Kelud meletus karena diperkirakan akan terkena
langsung luapan lahar serta material vulkanik baik awan panas, batu dan abu
(Ratusan Ribu Warga Blitar di Daerah Rawan Letusan Gunung Kelud, 2007).
Fokus
kajian pada penelitian ini adalah anak usia sekolah dasar. Anak termasuk dalam
kelompok paling rentan dalam situasi bencana. Mereka memiliki kemampuan dan
sumberdaya yang terbatas untuk mengontrol atau mempersiapkan diri ketika merasa
takut sehingga sangat bergantung pada pihak-pihak di luar dirinya supaya dapat
pulih kembali dari bencana (Hilyard, dkk., 2011; Sulistyaningsih, 2011). Kerentananan
anak-anak terhadap bencana dipicu oleh faktor keterbatasan pemahaman tentang
risiko-risiko disekeliling mereka, yang berakibat tidak adanya kesiapsiagaan
dalam menghadapi bencana (“Ayo Siaga Bencana”, 2005).
Berdasarkan
data yang didapat oleh peneliti setiap tahun diperkirakan sekitar 66 juta anak
di seluruh dunia terkena dampak bencana. Lebih dari 300.000 penduduk terkena
dampak peristiwa Merapi 2010, sekitar 100.000 diantaranya adalah anak-anak. Sementara
itu, jutaan anak yang selamat dari bencana, baik bencana alam dan bencana yang
disebabkan oleh manusia, kehilangan rumah dan orang yang mereka cintai. Mereka
juga menderita luka-luka, mengalami kekerasan, dan mengalami trauma psikologis
(“66 Juta Anak Dunia Terkena Dampak Bencana”, 2011). Di Indonesia ribuan anak
menjadi korban bencana. Sepertiga dari 200.000 korban meninggal tsunami Aceh
2010 adalah anak-anak (Andina, 2010).
Tingkat risiko bencana selain ditentukan oleh potensi bencana juga
ditentukan oleh upaya mitigasi dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana.
Sebagai negara yang berada di daerah rawan bencana, Indonesia tentunya harus
melakukan peningkatan upaya mitigasi dan kesiapsiagaan untuk meminimalkan
dampak bencana (The 4th Learning From Japan Symposium, 2012). Oleh
karena itu menjadi menarik dan penting untuk melakukan kajian penelitian tentang kerentanan,
upaya mitigasi dan kesiapsiagaan di Indonesia. Penelitian yang
dilakukan oleh Spittal dkk., (2005 dalam Rinaldi, 2009) mengenai bias optimistik
dalam kaitannya dengan kesiapan menghadapi gempa menunjukkan hasil bahwa sikap
optimis masyarakat dalam menghadapi gempa bumi dapat memberikan keyakinan dalam
menghadapi bencana yang akan datang. Hal ini sesuai dengan konsep self-efficacy dari Bandura bahwa
individu mempunyai keyakinan dan kemampuan untuk bertindak atau mengendalikan
situasi jika terjadi bencana (Major, 1999 dalam Rinaldi, 2009). Self-efficacy juga mempengaruhi jumlah
dan kualitas dari action plans, dan
jumlah dari usaha serta keuletan yang diberikan dalam perilaku pengurangan
resiko (Paton, 2003).
Hasil
dari penelitian yang dilakukan oleh Miller, dkk tentang kerentanan komunitas
terhadap konsekuensi bahaya vulkanis menyatakan bahwa self-efficacy dapat berpengaruh terhadap berkurangnya kerentanan
terhadap efek bahaya vulkanis secara langsung dan tidak langsung (Miller, dkk.,
1999). Level self-efficacy nantinya
akan mempengaruhi pemilihan aktifitas individu berdasar pemikiran mereka
berdasarkan rasa optimis atau pesimis terhadap kemampuan mereka untuk bertahan
menghadapi suatu tantangan atau situasi yang tidak terkontrol (Zulkosky, 2009;
Scholz, dkk., 2002). Self-efficacy
telah terbukti terlibat sebagai pendahulu adopsi penyesuaian dan resiliensi
dalam konteks bencana alam (Bishop, dkk., 2000; Duval & Mullis, 1999;
Hurnan & McClure, 1997; Lindell & Whitney, 2000; Paton, dkk., 2001
dalam Paton, 2003). Self-efficacy
juga meningkatkan kemungkinan bahwa resiliensi individu akan dipertahankan dari
waktu ke waktu (Duval & Mullis, 1999; Lindell & Whitney, 2000; Paton,
Johnston & Houghton, 2001 dalam Paton, dkk., 2005).
Bencana
alam sering dipersepsikan sebagai sesuatu yang tidak terkontrol. Self-efficacy telah diidentifikasi
memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku ketika berhadapan dengan masalah
yang dipersepsi kurang terkontrol (Godin & Kok, 1996 dalam Paton, 2003). Individu
cenderung tidak bertindak jika mereka menganggap dirinya tidak memiliki
kompetensi untuk bertindak (self-efficacy
rendah) (Paton, dkk., 2000). Individu yang memiliki tingkat self-efficacy lebih tinggi cenderung
lebih siap untuk menghadapai bencana (Bishop, 2000; Duval & Mullis, 1999;
Lindell & Whitney, 2000; Paton, dkk., 2001). Karena self-efficacy meningkatkan jumlah rencana yang dikembangkan oleh
individu dan ketekunan mereka dalam menerapkannya. Oleh karena itu individu
dengan self-efficacy tinggi merasa
bahwa mereka memiliki kemampuan untuk mencegah kerusakan dan menjadi mandiri
jika terjadi bencana melalui persiapan dan usaha mereka sendiri (GNS Science Report, 2011).
Kepercayaan
masyarakat terhadap efikasi mereka mempengaruhi kesiagaan terhadap potensi
ancaman dan bagaimana mereka mempersepsi dan proses kognitif. Self-efficacy untuk mengelola stressor
yang kuat mempengaruhi tidak hanya bagaimana ancaman diartikan tetapi juga
sejauh mana mereka mengatasinya. Semakin kuat rasa self-efficacy, semakin individu berani dalam menghadapi situasi
probematik yang mengembangkan stres (Benight & Bandura, 2004).
Oleh
karena itu peneliti ingin mencoba meneliti tentang perbedaan kesiapsiagaanan
menghadapi bencana gunung meletus
ditinjau dari self-efficacy pada anak
usia sekolah dasar di daerah dampak bencana. Anak bergantung pada orang dewasa
untuk berbagai bentuk perlindungan dan dukungan terutama dalam bencana atau
situasi darurat. Peristiwa bencana menimbulkan serangkaian tantangan bagi anak
kecil. Mereka berada pada resiko yang lebih besar untuk mengembangkan kesulitan
kognitif, perilaku dan emosi serta cedera fisik yang juga mengurangi dan
menunda proses perkembangan mereka secara keseluruhan dan berdampak negatif
terhadap kehidupan mereka di masa depan. Anak usia 5-12 tahun mungkin
menunjukkan reaksi yang ditandai dengan ketakutan dan kecemasan, meningkatkan
permusuhan dengan saudara, keluhan somatik, dan gangguan tidur, permasalahan
dengan prestasi sekolah, penarikan sosial, apatis, dan pemeragaan lewat
bermain, PTSD, dan kecemasan. Mengetahui
apa yang harus dilakukan ketika bencana datang adalah adalah perlindungan
terbaik kita begitu juga untuk anak-anak. Menyiapkan mereka untuk menghadapi
bencana adalah hal yang penting (Andina, 2010). Sehingga perlu untuk ditanamkan
self-efficacy dalam menghadapi
bencana agar mereka bisa menjadi lebih siap akan datangnya bencana yang tidak
dapat diprediksi kapan akan terjadi.
Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana
Kesiapan
biasanya dipandang sebagai sesuatu yang terdiri dari aktifitas yang bertujuan
meningkatkan aktifitas respon dan
kemampuan coping (Sutton &
Tierney, 2006). Delapan dimensi
kesiapan menghadapi bencana menurut Sutton dan Tierney (2006) meliputi
pengetahuan bencana, manajemen arah dan koordinasi dari operasi keadaan
darurat, kesepakatan formal dan informal, sumber daya pendukung, perlindungan
keselamatan hidup, perlindungan harta benda, menyesuaikan diri dengan keadaan
darurat dan pemulihan, terakhir mengidentifikasi dengan cepat aktivitas
pemulihan.
Self-Efficacy
Self-efficacy
merupakan faktor person (kognitif) yang ditekankan oleh Bandura, yaitu
keyakinan bahwa seseorang bisa menguasai situasi dan menghasilkan hasil
positif. Bandura mengatakan bahwa self-efficacy
berpengaruh besar terhadap perilaku. Efikasi diri berarti percaya “bahwa
seseorang dapat mengorganisir dan menjalankan pelajaran yang diberikan dari
perilaku yang disyaratkan untuk berhadapan dengan situasi prospektif”. Individu
dengan ekspektasi self-efficacy yang
tinggi dalam beberapa situasi menjadi percaya diri dapat menguasainya (Bandura,
1980 dalam Cloninger, 2004). Sumber -sumber self-efficacy
menurut Bandura (1997 dalam Feist & Feist, 2006) meliputi mastery experiences, social modeling, social
persuation, dan psysical and
emotional states. Sedangkan dimensi self-efficacy
dari Bandura (1977 dalam O’Sullivan & Strauser, 2008) adalah magnitude, generality, dan strength.
METODE PENELITIAN
Variabel bebas dalam
penelitian ini adalah self-efficacy, yang
kemudian dibedakan menjadi self-efficacy
tinggi dan self-efficacy rendah. Bandura (1977 dalam Sullivan &
Strauser, 2010) mengemukakan dimensi-dimensi self-efficacy yang digunakan sebagai dasar bagi pengukuran terhadap self-efficacy individu yaitu level kesulitan (Magnitude), tingkat generalisasi (Generality), dan tingkat kekuatan (Strength). Berdasarkan dimensi- dimensi tersebut dapat diketahui
bahwa karakteristik individu dengan self-efficacy
yang tinggi adalah memandang suatu tugas yang sulit adalah tantangan yang harus
ditaklukan, mempunyai tujuan yang menantang, memiliki minat yang besar dan
menjaga komitmen untuk mencapai tujuan yang diinginkan, mengerahkan segala
usaha untuk mencapai tujuan yang diinginkan, berpikir secara strategis, tidak
terpuruk dalam kegagalan terlalu lama karena mudah bangkit kembali, serta mampu
mengatasi serta mengendalikan stress yang dialami.
Sedangkan
variabel terikat dalam penelitian ini adalah kesiapsiagaan menghadapi bencana (disaster preparedness). Kesiapan anak dalam menghadapi bencana adalah
sejauh mana anak dapat tanggap dalam merespon bencana dengan tepat dan efektif.
Hal ini diukur melalui kuesioner yang terlebih dahulu ditentukan oleh peneliti
dengan menggunakan indikator-indikator dalam kuesioner antara lain mampu
melindungi diri dan menghindari resiko bahaya, mampu mengidentifikasi
bahaya, resiko, kerentanan dan dampak bencana yang ada di lingkungan sekitar, memiliki
informasi, pengetahuan dan kemampuan untuk merespon kejadian bencana, bertindak
tepat guna untuk mencegah kehilangan/kerugian atau kerusakan harta benda, dan
mengembangkan kemampuan untuk mempertahankan diri sendiri selama bencana.
Subjek dalam penelitian
ini adalah siswa kelas VI sekolah dasar yang berjumlah 102 siswa. Pengumpulan
data dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang terdiri dari skala
kesiapsiagaan menghadapi bencana dan GSE. Skala kesiapsiagaan menghadapi
bencana disusun sendiri oleh peneliti dengan berdasarkan kepada delapan dimensi
kesiapsiagaan menghadapi bencana yang dikemukakan oleh Sutton dan Tierney.
Sedangkan skala GSE yang digunakan dalam penelitian ini merupakan skala yang
disusun oleh Mattias Jerusalem dan Ralf Schwarzer pada tahun 1979. Analisis
data dalam penelitian ini diperoleh dengan teknik statistik non parametric Mann-Whitney U test.
HASIL
PENELITIAN
Tabel
Hasil Uji Hipotesis
Test Statisticsa
|
|
Total DP
|
|
Mann-Whitney
U
|
761.500
|
Wilcoxon
W
|
2192.500
|
Z
|
-3.600
|
Asymp.
Sig. (2-tailed)
|
.000
|
a. Grouping Variable: SE
|
Mengetahui
signifikansi dapat dilihat melalui nilai pada kolom signifikansi 2 arah (2 tailed). Nilai signifikansi pada tabel
di atas adalah 0.000 yang berarti kurang dari 0.05 sehingga hasilnya adalah
signifikan. Ada perbedaan pada skor kesiapsiagaan dari subyek dengan SE rendah
dan SE tinggi. Hasil uji hipotesis dengan menggunakan besar nilai signifikansi
saja masih belum cukup, karena bisa jadi adanya perbedaan secara signifikan
dikarenakan faktor kebetulan. Oleh karena itu, perlu dikuatkan juga dengan
besarnya effect size atau besarnya
perbedaan antara dua kelompok (Pallant, 2007).
Hasil perhitungan menunjukkan nilai sebesar 0,036 maka
menurut kategorisasi Cohen (1988 dalam Pallant, 2011) nilai 0,036 termasuk
kategori kecil. Jadi, dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara kedua kelompok
tersebut kecil. Dari hasil analisis di atas dapat dikatakan bahwa hasil Mann-Whitney U Test menunjukkan
perbedaan signifikan pada level kesiapsiagaan dari subyek dengan self-efficacy rendah (Md = 93, n = 53) dan subyek dengan self-efficacy
tinggi (Md = 1.06, n = 49), U = 761.5, z = -3.6, p = .000, r = .036.
PEMBAHASAN
Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan kesiapsiagaan menghadapi
bencana ditinjau dari tingkat self-efficacy
tinggi dan tingkat self-efficacy
rendah. Berdasarkan dari hasil uji asumsi yang telah dilakukan peneliti,
diketahui bahwa data yang diperoleh memiliki distribusi tidak normal namun
homogen. Sehingga perhitungan analisis statistik inferensial harus menggunakan
teknik non-parametrik. Hasil analisis Mann-Whitney
U test yang dilakukan peneliti dengan menggunakan bantuan SPSS v16.0 for windows menunjukkan
adanya perbedaan yang kecil terkait kesiapsiagaan menghadapi bencana antara
siswa yang memiliki self-efficacy
tinggi dan rendah.
Jumlah
subyek dengan self-efficacy rendah
lebih banyak dibanding subyek dengan self-efficacy
tinggi. Hal ini bisa dipahami sebagai peran dari salah satu sumber self-efficacy yaitu mastery experience. Dimana individu akan memiliki self-efficacy tinggi apabila ia
mempunyai pengalaman menguasai suatu prestasi di masa lalu. Dikuatkan dengan
pendapat Spittal (2005 dalam Rinaldi, 2009) bahwa sikap optimis masyarakat
dalam menghadapi bencana dapat memberikan keyakinan untuk menghadapi bencana
yang akan datang. Sedangkan subyek dalam penelitian ini mengaku belum pernah
mengalami peristiwa bencana alam sebelumnya. Variabel demografis seperti umur,
pendapatan, status kesehatan, dan status kelumpuhan juga dapat mempengaruhi self-efficacy. Individu dengan
penghasilan buruk, pendidikan rendah, status kesehatan yang buruk, dan adanya
disabilitas menghasilkan skor lebih rendah dalam pengukuran sefl-esteem dan self-efficacy (O’Sullivan & Strauser, 2008).
Pengalaman
personal secara langsung juga dapat mempengaruhi perilaku kesiapan. Seperti
yang diterangkan oleh Johnston, dkk., (1999) bahwa faktor yang dapat
mempengaruhi perilaku kesiapan antara lain adalah pengalaman personal secara
langsung (pentingnya kesadaran; dorongan untuk mencari informasi), bias norma,
dan bias optimistik. Pengalaman secara langsung terhadap bencana di masa lalu
dapat menstimulasi dorongan untuk mencari informasi mengenai peristiwa
tersebut.
Penelitian
Paton (2005) mengenai kesiapsiagaan menghadapi bencana yang ditinjau dari
perspektif kognisi sosial menerangkan bahwa persiapan dikonseptualisasikan
sebagai tiga fase yang terpisah namun saling berkaitan, yaitu faktor yang
memotivasi individu untuk siap, pembentukan intensi, dan berakhir pada
keputusan untuk siap. Dituliskan dalam Paton (2003) bahwa variabel kognisi
sosial yang meliputi problem focused
coping, self-efficacy, dan sense of
community dapat memprediksi kesiapan dan resiliensi terhadap bahaya alam.
Sehingga, dapat dikatakan bahwa self-efficacy
tidak berdiri sendiri sebagai faktor yang dapat mempengaruhi perilaku
kesiapa menghadapi bencana.
Pemaparan
di atas mungkin dapat menjelaskan mengapa bisa terdapat perbedaan level self-efficacy pada subyek penelitian
ini. Selain itu, adanya perbedaan yang kecil kemungkinan juga dipengaruhi oleh
salah satu sumber self-efficacy yaitu
mastery experience. Mengingat bahwa
subyek penelitian ternyata mengaku belum pernah mengalami bencana sebelumnya. Level
self-efficacy ini pulalah yang
nantinya akan mempengaruhi pemilihan aktifitas individu berdasar pemikiran
mereka berdasarkan rasa optimis atau pesimis terhadap kemampuan mereka untuk
bertahan menghadapi suatu tantangan atau situasi yang tidak terkontrol
(Zulkosky, 2009; Scholz, dkk., 2002). Sehingga dapat dipahami penyebab adanya
perbedaan yang kecil dalam hal kesiapsiagaan menghadapi bencana pada siswa
dengan self-efficacy rendah dan siswa
dengan self-efficacy tinggi adalah
dikarenakan berbagai faktor-faktor dapat yang mempengaruhi level self-efficacy dan kesiapsiagaan
menghadapi bencana itu sendiri.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil
penelitian serta analisa data yang telah dilakukan, maka peneliti mendapatkan sebuah kesimpulan
yang dapat menjawab pertanyaan penelitian ini. Penelitian ini memiliki
kesimpulan bahwa terdapat perbedaan kesiapsiagaan menghadapi bencana ditinjau
dari tingkat self-efficacy pada anak
usia sekolah dasar di daerah dampak bencana dengan effect size yang kecil.
SARAN
Hasil penelitian
ini dapat digunakan menjadi referensi bagi pihak sekolah atau lembaga terkait
untuk menyusun program training/pelatihan yang bertujuan untuk dapat meningkatkan
self-efficacy pada diri siswa sebagai
penunjang peningkatan kesiapsiagaan menghadapi bencana berupa materi pelatihan
yang dapat membantu siswa usia sekolah dasar memiliki tingkat self-efficacy tinggi.
Penelitian ini
masih mengalami berbagai kendala serta banyak kekurangan dalam berbagai hal.
Peneliti berharap apabila nantinya ada peneliti lain yang ingin melakukan
kembali penelitian ini, maka sebaiknya menyempurnakan metode yang telah
digunakan penulis atau menambahkan variabel lain yang nantinya dapat memperkaya
penelitian tersebut.
PUSTAKA
ACUAN
Andina,
S. (2010). Disaster Preparedness Education for Young Children. 5th
Annual International Workshop & Expo on Sumatra Tsunami Disaster &
Recovery.
Benight,
C., & Bandura, A. (2004). Social Cognitive Theory of Posttraumatic
Recovery: The Role of Perceived Self-Efficacy. Behavioral research and therapy 42 (2004) 1129-1148.
Cloninger,
S.C. (2004). Theories of Personality:
Understanding Person, Fourth Edition. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Feist,
J.,& Feist, G.J. (2006). Theories of
Personality (sixth edition). New York: McGraw-Hill.
GNS
Science Report. (2011). Building Community Resilience to Disasters: A Practical
Guide for The Emergency Management Sector.
Hilyard,
K.M., Hocke, T.M. & Ryan, E.L. (2011). Disaster
on the web? A Qualitative Analysis of Disaster Preparedness Websites for
Children.
Jhonston,
D.M., Bebbington, M.S., Lai, C., Houghton, B.F., & Paton, D. (1999).
Volcanic Hazard Perceptions: Comparative Shifts in Knowledge and Risk. Disaster Prevention and Management,Vol. 8
Iss: 2 pp. 118-126.
Miller,
M., Paton, D., Johnston, D. (1999). Community Vulnerability to Volcanic Hazard
Consequences. Disaster Prevention and
Management, Vol. 8 Iss: 4pp. 255-260.
O’ Sullivan,
D.,& Strauser, D.R. (2008). Operationalizing Self-Efficacy, Related Social
Cognitive Variable, and Moderating Effects: Implication for Rehabilitation
Research and Practice. Rehabilitation Counseling Bulletin Volume 52 Number 4
July 2009 251-258.
Pallant,
J.F. (2007). SPSS Survival Manual: a Step
by Step Guide to Data Analysis Using SPSS. NSW: Allen & Unwin.
Pallant,
J.F. (2011). SPSS Survival Manual: a Step
by Step Guide to Data Analysis Using SPSS 4th edition. NSW:
Allen & Unwin.
Paton, D., Smith, L., Jhonston, D. (2000). Volcanic
Hazards: Risk Perception and Preparedness. New
Zealand Journal of Psychology Vol. 29 No.2 Desember 2000.
Paton, D. (2003). Disaster Preparedness: A
Social-Cognitive Perspective. Disaster
Prevention and Management, vol. 12, pp. 210-216.
Paton, D., Smith, L., Johnston, D. (2005). When Good
Intentions Turn Bad: Promoting Natural Hazard Preparedness. The Australian Journal of Emergency
Management, Vol. 20 No 1.February 2005.
Pusat Penanggulangan Krisis Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. (2008). Pedoman Penyusunan Peta Jalur Evakuasi Bidang
Kesehatan Pada Bencana Gunung Api. Jakarta.
Pusat
Krisis Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. (2012). The 4th
Learning From Japan Symposium 2012. Diakses pada tanggal 19 Juni 2012 14:58 dari http://www.puskrispsiui.or.id/index.php?option=com_k2&view=itemlist&task=user&id=62
Rinaldi.
(2009). Kesiapan Menghadapi Bencana Pada Masyarakat Indonesia. Universitas
Negeri Padang. Jurnal Penelitian
Psikologi No. 1. Volume 14, Juni 2009.
Scholz,
U., Dona, B.G., Sud, S.,& Schwarzer, Ralf. (2002). Is General Self-Efficacy
a Universal Construct?* Psychometric Finding from 25 Countries. European Journal of Psychological
Assessment, Vol. 18, Issue 3, pp. 242-251.
Sulistyaningsih,
W. (2011). Pemulihan Anak Pasca
Bencana: Pelibatan Komunitas untuk Hasil Intervensi yang Efektif. Fakultas
Psikologi Universitas Sumatera Utara.
Sutton, J.,& Tierney,
K. (2006). Disaster Preparedness: Concepts, Guidance, and
Research. Institute
of Behavioral Science University of Colorado.
Zulkosky,
K. (2009). Self-Efficacy: A Concept Analysis. Nursing Forum Volume 44, No. 2, April-June 2009. Journal Compilation,
Wiley Periodical, Inc.
Ayo
siaga bencana (2005). Palang Merah Indonesia [on-line]. Diakses pada tanggal 9
April 2012 dari http://www.pmi.or.id/ina/program/?act=detail&id_sub=51
66
Juta Anak Dunia Terkena Dampak Bencana (2011). Kompas [on-line]. Diakses pada
tanggal 9 April 2012 dari http://internasional.kompas.com/read/2011/10/13/16063173/66.Juta.Anak.Dunia.Terkena.Dampak.Bencana
Ratusan
Ribu Warga Blitar di Daerah Rawan Letusan Gunung Kelud (2007). Diakses pada tanggal
21 Juni 2012 dari http://www.merdeka.com/pernik/ratusan-ribu-warga-blitar-di-daerah-rawan-letusan-gunung-kelud-ngopfwo.html
Comments
Post a Comment