Erupsi Gunung Kelud 13 Februari 2014
Malam itu, Kamis 13 Februari 2014, aku
sedang berada di peraduan untuk sejenak beristirahat dalam rangka mempersiapkan
diri berangkat ke Kota Surabaya pagi buta esok hari. Aku masih ingat, malam itu
jam menunjukkan pukul 22.00 WIB ketika aku masih terjaga. Aku berencana untuk
tidur sesaat dan kemudian bangun mendekati sepertiga malam pertama untuk
menyiapkan diri dan barang-baran yang akan ku bawa. Tapi, tiba-tiba saja
terdengar suara ramai dari depan rumah. Aku juga mendengar suara kedua
orangtuaku. Bersamaan dengan itu aku juga mendapat sebuah pesan singkat dari
kekasihku yang mengatakan bahwa Gunung Kelud sudah meletus. Aku setengah tak
percaya dan kaget. Meskipun memang sedari tadi yang menjadi bahasan kami adalah
ihwal Gunung Kelud. Padahal, aku sendiri juga yang mengatakan padanya bahwa Gunung
Kelud sudah naik status dari siaga menjadi awas beberapa jam sebelumnya.
Memang jarak perubahan status dari siaga
menjadi awas tidaklah lama. Dan 49 menit kemudian pada pukul 22.49 WIB Gunung
Kelud tiba-tiba saja meletus. Terdengar suara gemuruh yang menggelegar. Tanah lapang
di depan rumah sudah ramai oleh warga sekitar yang sedang tercengang menatap
langit malam itu ke arah Gunung Kelud. Mereka
menyaksikan betapa mengerikan dan menakutkannya erupsi Gunung Kelud malam itu. Meskipun
dari jarak yang cukup jauh, sekitar 30km dari Gunung Kelud, namun pemandangan
yang tak biasa itu dapat terlihat dengan cukup jelas. Pelan tapi pasti awan
hitam mulai tampak semakin membumbung tingi ke atas hingga mencapai ketinggian
sekitar 17km. Kilat-kilatan cahaya serta petir yang menyambar-nyambar di
sekitar Gunung Kelud tampak begitu menakutkan. Awan hitam erupsi pun mulai
berjalan tertiup angin ke arah kami sedang berdiri. Dan tak lama, mulai terasa
hujan berupa pasir dan kerikil menimpa kami. Sehingga warga berhamburan dan segera
berlindung menuju ke rumah masing-masing. Hujan pasir dan kerikil itu pun
berlangsung selama kurang lebih 3jam hingga dini hari tiba.
Sungguh pengalaman pertama yang tak akan
terlupakan. Tapi, syukur senantiasa ku ucapkan kehadirat Sang Pencipta. Karena letusan
malam itu tak berdampak sedahsyat letusan pada tahun 1990 pada wilayah Kota
Blitar. Kota dimana aku lahir dn tumbuh dewasa. Semburan erupsi yang kuat
menjulang begitu tinggi ke atas serta tiupan angin ke arah barat membuat
wilayah Kediri, Mojokerto, Madiun, bahkan Yogyakarta dan sebagian wilayah di
Jawa Barat juga ikut merasakan dampak abu vulkanik erupsi Gunung Kelud. Aku pun
akhirnya memutuskan untuk batal berangkat ke Kota Surabaya karena erupsi
mendadak yang tak terduga malam itu. Beberapa bandara udara di sebagian wilayah
jawa seperti Kota Surabaya, Malang, Solo, Jogja dan Semarang pun juga terpaksa
ditutup sementara karena terdampak abu vulkanik yang menumpuk.
Sungguh erupsi yang dahsyat, dampak yang mungkin
bisa dibilang lebih daripada Gunung Merapi. Mengingatkan aku, akan kenangan
setahun yang lalu. Saat aku berjuang mempertahankan karya tulisku di depan para
Dosen Penguji. Aku mengeluarkan berbagai macam pernyataan untuk menguatkan
alasanku memilih Gunung Kelud sebagai setting penelitianku. Juga teringat akan
kenangan bersama anak-anak yang menjadi subyek penelitianku yang entah
bagaimana kabar mereka sekarang setelah letusan kemarin. Ingin rasanya kembali
bersua dan bercanda tawa dengan mereka sekedar untuk melupakan sedikit
ketakutan yang mungkin mereka alami pasca erupsi. Aku ingin bisa membantu
meringankan beban mereka meskipun hanya sedikit.
Syukurlah sudah berlalu. Hanya mengantisipasi lahar dingin saja untuk saat ini.
ReplyDeletealhamdulillah,,,, sepertinya semua sudah berangsur membaik.
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete