Hypoactive Sexual Desire Disorder (HSDD)

Hypoactive sexual desire disorder (HSDD) dianggap sebagai disfungsi seksual dan terdaftar dibawah Gangguan Seksual dan Identitas Gender dari DSM-IV. Dalam DSM-III HSDD ini masih disebut Inhibited Sexual Desire Disorder, namun kemudian berubah menjadi HSDD saat DSM-III-R. HSDD dicirikan dengan berkurangnya atau tidak adanya fantasi seksual dan keinginan untuk melakukan aktivitas seksual untuk beberapa periode waktu.
Dalam  versi awal DSM, hanya ada dua disfungsi seksual yang terdaftar, yaitu frigiditas (untuk perempuan) dan impotensi (untuk laki-laki). Pada tahun 1970, Masters dan Johnson menerbitkan buku yang berjudul Human Sexual Inadequacy yang menggambarkan disfungsi seksual, termasuk disfungsi yang berhubungan dengan fungsi alat kelamin seperti ejakulasi dini dan impotensi untuk pria, serta anorgasme dan vaginismus untuk perempuan.

Setelah diterbitkannya buku ini, terapi seks mengalami peningkatan sepanjang tahun 1970-an. Laporan dari terapis seks-tentang orang-orang dengan hasrat seksual rendah dilaporkan pada tahun 1972. Pada tahun 1977 terapis seks yang bernama Helen Singer Kaplan dan Harold Lief mengusulkan untuk membuat kategori khusus bagi orang-orang yang memiliki hasrat seksual rendah atau tidak memiliki keinginan seksual. Lief menamainya dengan nama Inhibited Sexual Desire, dan Kaplan menamainya dengan nama Hypoactive Sexual Desire. Pada tahun berikutnya, 1978, Lief dan Kaplan bersama-sama membuat proposal kepada APA untuk memasukkan Inhibited Sexual Desire ke dalam gangguan seksual pada DSM III.
Untuk memahami diagnosis ini, penting untuk mengenali konteks sosial yang ada. Dalam beberapa budaya, hasrat seksual rendah dapat dianggap normal dan hasrat seksual tinggi yang bermasalah. Beberapa konteks budaya berusaha keras untuk menahan hasrat seksual, sedangkan yang lainnya mencoba untuk merangsang itu. Konsep dari hasrat seksual yang “normal” tergantung pada konteks sosial yang ada saat itu. Pada 1970-an, ada pesan budaya yang kuat bahwa aktivitas seks yang dilakukan lebih banyak lebih baik. Dalam konteks ini, orang-orang yang tidak tertarik pada seks, mungkin melihat ini sebagai sebuah masalah, dan cenderung merasa bahwa ini adalah situasi yang perlu diperbaiki. Mereka mungkin merasa terasing dari lingkungan karena masalah seksualitas mereka dan semakin orang-orang pergi ke terapis seks mengeluh memiliki keinginan seksual rendah. Hal ini menyebabkan diagnosis ISD dibuat.
Dalam revisi DSM-III, diterbitkan pada tahun 1987 (DSM-III-R), ISD dibagi menjadi dua kategori: Hypoactive Sexual Desire Disorder dan Sexual Aversion Disorder (SAD). Yang pertama adalah kurangnya minat seks dan kedua adalah fobia dengan seks. Selain pembagian seperti ini, salah satu alasan untuk perubahan ini adalah bahwa komite yang terlibat dalam merevisi gangguan pyschosexual untuk DMS-III-R berpikir bahwa istilah “inhibited” menunjukkan etiologi psikodinamik (yaitu bahwa hasrat seksual yang hadir, tetapi orang tersebut, untuk beberapa alasan, menghambat minat seksual mereka sendiri). Kemudian istilah Hypoactive Sexual Desire Disorder digunakan untuk mendiagnosis hasrat seksual yang rendah.

  1. DIAGNOSA
Seseorang yang didiagnosa mengalami HSDD (dalam DSM IV kode F.520) setidaknya harus memiliki tiga kriteria,yaitu:
1.      Berkurangnya atau hampir tidak memiliki fantasi seksual atau keinginan untuk melakukan hubungan seksual. Judgement ini biasanya dibuat oleh klinisian.
2.      Distress atau kesulitan dalam hubungan interpersonal
3.      Adanya sexual dysfunction yang dimasukkan dalam gangguan Aksis I dan bukan merupakan efek dari fisiologis (seperti kecanduan obat)
Pada pria, meskipun ada lebih banyak teori yang menjelaskan tentang HSDD, biasanya pria hanya didiagnosa dengan salah satu dari tiga subtipe, yaitu:
1.      Lifelong / umum: Pria tersebut memiliki sedikit atau tidak memiliki keinginan untuk  mendapatkan stimulus seksual (baik dengan pasangan ataupun tidak).
2.      Akuisisi / situasional: Pria tersebut sebelumnya secara seksual tertarik pada pasangan, tapi sekarang tidak memiliki minat seksual pada mereka (lebih tertarik pada pasangan yang sebelumnya ketimbang pasangannya yang sekarang).
3.      Akuisisi / umum: Pria tersebut sebelumnya memiliki minat untuk melakukan aktivitas seksual pada pasangan yang sekarang, tetapi tidak memiliki minat pada aktivitas seksual bersama pasangan yang sekarang.

  1. ETIOLOGI HSDD
Etiologi HSDD masih belum terlalu jelas, namun ada beberapa pendapat ahli yang menunjang penjelasan mengenai HSDD. Helen Kaplan menyatakan bahwa rendahnya motivasi dan kurangnya pengetahunan seksualitas yang dimiliki oleh pasangan menjadi penyebab HSDD kemudian muncul (Kaplan, 1995). Motivasi dalam melakukan aktivitas seksual biasanya dipengaruhi juga oleh kenyamanan dan frekuensi orgasme dari masing-masing pasangan karena aktivitas seksual diakhiri dengan orgasme. Sehingga orgasme dijadikan sebagai reinforcer dalam setiap aktivitas seksual yang dilakukan oleh pasangan. (Gebhard, 1966; Bentler and Peeler, 1979; Lief, 1980). Penyebab fisiologis pun mengambil peranan dalam HSDD. Kurangnya kadar hormon seks membuat penderita mengalami HSDD.

  1. INTERVENSI HSDD
1.      Psikoterapi
HSDD, seperti disfungsi seksual lainnya adalah suatu hal yang berada dalam konteks hubungan. Dengan demikian, sudah umum bagi kedua pasangan untuk terlibat dalam terapi. Intevensi yang dilakukan pada umumnya lebih berfokus pada hubungan dan masalah komunikasi baik verbal maupun nonverbal, memperbaiki keintiman non-seksual, atau pendidikan tentang seksualitas menjadi bagian dari pengobatan. Selain itu, kedua hal tersebut menjadi penting kemudian untuk memahami mengapa hasrat seksual rendah menjadi masalah dalam suatu hubungan. Karena mungkin kedua pasangan mengasosiasikan arti seks dalam artian yang berbeda.

HYPERSEXUALITY 
Ketika HSDD menjadi pusat perhatian klinisi atas gangguan seksual pada pria dan wanita, maka Hypersexuality menjadi salah satu gangguan seksual lain yang bisa dibilang unik. Hypersexuality pada wanita biasanya disebut dengan nymphomania atau furor uterinus. Sedangkan pada pria hypersexuality biasa disebut dengan satyriasis.

DIAGNOSIS
Irons dan Schneider telah mencatat bahwa hypersexuality yang tidak masuk ke dalam kategori DSM-IV dapat didiagnosis dengan menggunakan sebuah adaptasi dari DSM-IV yang dimasukkan dalam model ketergantungan. Demikian pula, Lowinson dan rekannya menggunakan model kecanduan dan menetapkan kecanduan seksual sebagai suatu kondisi di mana perilaku seksual dicirikan setidaknya oleh dua hal utama, yaitu:
·         kegagalan berulang untuk mengendalikan perilaku
·         kelanjutan dari perilaku meskipun adanya konsekuensi yang berbahaya
Patrick Carnes, pendukung lain dari model kecanduan seksual, menyatakan bahwa kecanduan seksual:
  1. Kegagalan berulang (pola) untuk menolak impuls untuk terlibat dalam tindakan-tindakan ekstrim dalam melakukan aktivitas seksual.
  2. Sering melakukan aktivitas seksual dalam periode waktu yang lebih lama dari yang dianjurkan.
  3. Gagal untuk menghentikan, mengurangi, atau mengendalikan perilaku.
  4. Merasa senang ketika telah melakukan aktivitas seksual yang berulang.
  5. Sering terlibat dalam perilaku kekerasan seksual ketika diharapkan untuk memenuhi pekerjaan, akademik, rumah tangga, atau kewajiban sosial.
  6. Membatasi kegiatan sosial, pekerjaan, karena perilaku.
  7. Menjadi suatu penderitaan, kecemasan, kegelisahan, atau kekerasan jika tidak bisa melakukan aktivitas seksualnya
Di sisi lain, Schneider mengidentifikasi kecanduan seksual sebagai suatu hal uang kompulsif,  tiga indikator seksual yaitu:
1.      Compulsivity
Hilangnya kemampuan untuk memilih apakah akan menghentikan atau melanjutkan perilaku
2.      Continuation despite consequences
Ketika kecanduan mereka terlalu jauh, dapat menyebabkan efek negatif dalam kehidupan mereka. Mereka dapat mulai menarik diri dari kehidupan keluarga untuk mengejar aktivitas seksual. Penarikan ini mungkin menyebabkan mereka mengabaikan anak-anak mereka atau menyebabkan pasangan mereka untuk meninggalkan mereka. Walaupun dihadapkan dalam  semua konsekuensi yang telah disebutkan, mereka tetap terlibat dalam aktivitas seksual yang berlebihan.
3.      Obsesive
Ketika seseorang tidak bisa menahan diri dari berpikir pikiran tertentu. Pecandu seks memenuhi pikiran mereka dengan pikiran seksual. Mereka mengembangkan fantasi yang rumit, menemukan cara-cara baru untuk mendapatkan seks. Sehingga bisa saja mereka mengabaikan kehidupannya.

B.     ETILOGI
Pecandu hypersexuality sebagaimana yang telah dipaparkan oleh para klinisian pada konsep sebelumya, akan berusaha untuk mengatasi pemikiran seksual mereka dengan melakukan perilaku seksual seperti masturbasi. Beberapa pecandu juga mengatasinya dengan cara melakukan hubungan interpersonal seperti melakukan empty affair dengan mengunjungi tempat-tempat prostitusi,  voyeurismeeksibisionismefrotteurism, melakukan cybersex, hingga zoophilia.

1.      Psychologycal Distress Theory
Patrick Carnes (2001, hal 40) berpendapat bahwa kecanduan seks juga berhubungan dengan masa anak-ananya, terutama yang berhubungan dengan keyakinan dasar yang diajarkan oleh keluarganya dan bagaimana keluarga memperlakukan mereka. Seorang anak dibesarkan dalam keluarga yang penuh kasih sayang, akan memiliki peluang untuk tumbuh dengan baik, percaya bahwa mereka hidup dengan orang lain, dan berharga diri. 
Di sisi lain, seorang anak yang dibesarkan dalam keluarga yang mengabaikan mereka akan mengembangkan keyakinan dasar yang tidak sehat dan negatif. Mereka tumbuh dan percaya bahwa orang-orang di dunia tidak peduli tentang mereka. Sehingga dalam kehidupannya ia kesulitan menjaga hubungan yang stabil dan merasa terisolasi. Secara umum, pecandu tidak menganggap diri mereka sebagai manusia berharga (Carnes, Delmonico dan Griffin, 2001, hal 40). Mereka mengatasi perasaan-perasaan isolasi dan kelemahan dengan melakukan seks yang berlebihan (Poudat, 2005, hal 12). Menurut Carnes, pecandu seks  memiliki beberapa prinsip yang membuatnya kemudian, menjadi seorang pecandu, yaitu:
1.     "I am basically a bad, unworthy person."
2.     "No one would love me as I am."
3.     "My needs are never going to be met if I have to depend on others."
4.     "Sex is my most important need."
Ada beberapa tingkatan dari pecandu seks, yaitu:
  1. Paint Agent
Mengalami ketidaknyamanan emosional (misalnya malu, marah, konflik yang belum terselesaikan). Seorang pecandu seks tidak dapat mengatasi ketidaknyamanan emosional ini dengan cara yang sehat.

  1. Disosiasi 
Sebelum bertindak hingga melakukan aktivitas seksual, para pecandu seks mengalami periode mental preoccupation atau obsesi.

  1. Euphoric Fantasized Experience
Pecandu mulai merasakan kesenangan saat melakukan fantasi seksual.

  1. Preoccupation or "sexual pressure”
Pecandu mulai memikirkan cara-cara untuk menghilangkan “sakit” yang mereka tahan.

  1. Ritualisasi atau acting out
Obsesi yang telah dimiliki oleh pecandu, kemudian diwujudkan dalam bentuk perilaku di dunia nyata. Ritual yang dilakukan kemudian dapat mengurangi pemikiran obsesif pecandu.

  1. Sexual compulsivity
Tahap berikutnya adalah melakukan aktivitas seksual. Ketegangan pecandu akan berkurang saat mereka mencapai tahap ini. Kompulsif hanya berarti bahwa pecandu secara teratur sampai ke titik dimana melakukan aktivitas seksual menjadi suatu hal yang tak terelakkan, apa pun keadaan dan konsekuensi yang nantinya akan dihadapinya. Tindakan kompulsif, yang berakhir dengan orgasme, mungkin akan menyebabkan pecandu sadar bahwa mereka telah menjadi seorang pecandu.

  1. Despair
Pecandu akan merasakan penyesalan dan keputusasaan atas tindakannya tersebut, kehilangan harapan atas dirinya.

Carnes mengatakan bahwa pecandu yang telah mengalami seluruh tahapan ini kemudian akan menghilangkan rasa penyesalan dan keputusasaannya adalah dengan mulai terobsesi kembali dan akan melalui tahapan-tahapan yang telah dijelaskan sebelumnya.

C.    INTERVENSI
Tidak ada penanganan khusus atas pecandu ini, namun beberapa klinisian menawarkan metode private counselor sampai self-help groups yang sistemnya hampir sama dengan mereka yang mengalami kecanduan zat adiktif.


Sumber Bacaan:
Davidson, Gerald C., Neale, John M., Kring, Ann M. 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Comments